Fenomena Fitur Close Friend: Bagaimana Privasi Perspektif Islam?

Saat ini kita telah berada di era industri 4.0 yang serba maju dalam perkembangan inovasi di berbagai bidang, khususnya bidang teknologi. Teknologi  berpengaruh besar dalam memenuhi kebutuhan manusia sebagai media informasi dan komunikasi. Teknologi juga membawa dampak yang besar dalam kehidupan sosial di masyarakat baik secara positif maupun negatif.

Salah satu produk perkembangan teknologi yang kita gunakaan saat ini adalah sosial media. Sosial media menghadirkan banyak fitur menarik bagi para penggunanya, seperti halnya platform intagram. Dilansir dari databoks, Indonesia menempati urutan ke-empat sebagai pengguna instagram terbanyak di dunia. Hingga Juli 2021, pengguna instagram di Indonesia berjumlah sebesar 91,77 juta pengguna.

Instagram memberikan kebebasan kepada penggunanya untuk membentuk lingkaran koneksinya sendiri. Sikap selektif para pengguna dalam membentuk koneksi tersebut berbeda-beda, namun pihak pengelola instagram memberikan solusi alternatif melalui fitur close friend yang sudah dirilis sejak 2018 lalu. Close friend merupakan sebuah fitur instagram yang dimana para penggunanya dapat menambahkan beberapa orang terdekat untuk bisa melihat secara khusus unggahan pribadi pemilik akun. Sehingga dapat dikatakan unggahan tersebut bersifat rahasia dari orang lain yang tidak ditambahkan. Fitur close friend ini juga membuat seseorang merasa lebih leluasa dalam membagikan sesuatu yang bersifat pribadi, karena pemilik akun merasa terjamin dari adanya kebocoran privasi yang mungkin saja akan terjadi.

Terkadang fitur close friend disalahgunakan sebagai tempat penyebar aib diri bahkan aib orang lain. Dalam beberapa bulan terakhir banyak ditemui kasus kebocoran unggahan pribadi dari fitur close friend yang akhirnya menjadi buah bibir khalayak ramai. Seperti kasus yang menimpa selebgram baru-baru ini, ketika unggahan mengenai aib keluarganya tersebar melalui salah satu pengguna yang terdaftar dalam fitur close friend tersebut. Hingga akhirnya ramai diperbincangkan di segala media massa. Dari kasus tersebut mengajarkan kita bahwa fitur close friend tidak sepenuhnya menjadi tempat teraman dalam berbagi kisah privasi. Pasalnya, orang-orang terdaftar dalam fitur close friend tersebut tidak semuanya dapat dipercaya sekalipun dia orang yang kita percayai. Sehingga hal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah kesadaran dalam menjaga sebuah privasi itu penting?

Prinsip Privasi dalam Islam

Allah telah mengatur segala konsep bermuamalah dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk batasan-batasan privasi setiap individu. Privasi merupakan suatu hal yang penting dan melekat bagi setiap orang. Adapun yang termasuk ruang lingkup dalam privasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu fisik dan non-fisik. Privasi secara fisik adalah batasan-batasan dalam menjaga aurat, baik itu ke sesama jenis maupun lawan jenis. Adapun privasi secara non-fisik adalah batasan-batasan mengenai sesuatu, seperti halnya kehidupan pribadi seseorang. Dalam ranah pembahasan ini, kita berfokus pada privasi secara non-fisik.

Mengenai privasi, Mu’tamir bin Sulaiman pernah mendengarkan ayahnya bercerita dari Annas bin Malik yang berkata:

أَسَرَّ إِلَيَّ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرًّا فَمَا أَخْبَرْتُ بِهِ أَحَدًا بَعْدُ وَلَقَدْ سَأَلَتْنِي عَنْهُ أُمُّ سُلَيْمٍ فَمَا أَخْبَرْتُهَا بِهِ

Artinya: “Rasulullah menyampaikan suatu perkara rahasia kepadaku hingga setelah itu aku tidak menceritakannya kepada siapapun. Dan sungguh Ummu Sulaim pun bertanya tentang rahasia tersebut, namun aku tidak juga mau menceritakannya.” (HR. Muslim).

Hadits di atas secara induktif menjelaskan mengenai perintah menjaga rahasia dari orang lain meskipun orang tersebut sangat dekat dengan kita. Rahasia dapat dikatakan adalah hal-hal yang privasi. Jika kita memiliki rahasia, maka kewajiban kita adalah menjaganya sebaik mungkin. Sesuatu yang bersifat rahasia jika diumbar kepada orang lain maka akan menjadi boomerang yang tidak baik bagi diri kita sendiri. Dalam Islam, menjaga rahasia artinya menjaga amanah. Amanah adalah kewajiban dalam menjaga kepercayaan yang telah diberikan, baik yang bersifat materi maupun non-materi. Dari pengertian tersebut tersirat bahwa amanah tidak dapat dipisahkan dari dua hal yang saling terikat, yaitu hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan hubungan dengan manusia (hablum minannas). Oleh karenanya, amanah menjadi salah satu indikator keimanan seseorang sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW:

لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

Artinya: “Tidak sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama orang yang tidak menunaikan janji.” (HR. Ahmad).

Hadits tersebut menunjukkan betapa pentingnya amanah dalam segala perbuatan hingga menjadikan amanah sebagai indikator kesempurnaan iman seorang hamba. Fenomena buruk yang terjadi di lapangan saat ini mengafirmasi akan rendahnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap amanah yang diberikan, baik amanah terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain. Kita perlu menyadari bahwa amanah merupakan nilai penting dalam ajaran islam. Di dalam nilai amanah terkandung banyak muatan moral yang dapat menjadi tameng dalam segala perbuatan yang dilakukan. Sehingga implementasi nilai amanah dari pemaparan sebelumnya dalam bersosial media merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus kita upayakan.

Jaga Aib, Jaga Diri

Islam memiliki banyak nilai-nilai penting yang terkandung dalam aspek kehidupan bermasyarakat. Di dalamnya mengatur tentang bagaimana etika-etika dalam berhubungan terhadap sesama yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah SWT memberikan feed back pada segala amalan yang diperintahkan, bahkan Allah SWT mengutus nabi Muhammad SAW untuk menjaga kedamaian di muka bumi ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Anbiya ayat 107:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْن

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Secara singkat menurut tafsir Kementrian Agama RI, tujuan Allah SWT mengutus nabi Muhammad SAW adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam agar terciptanya kedamaian. Islam membawa kedamaian yang lahir dari perintah serta pengamalan yang benar. Salah satu hal yang dapat merobohkan kedamaian tersebut adalah mengumbar aib. Mengumbar aib akan memperluas perpecahan dan menimbulkan keburukan-keburukan lain yang mengikutinya. Sehingga Rasulullah SAW memerintahkan untuk menjaga aib diri sendiri dan orang lain sebaik mungkin. Sebagaimana dalam sabdanya yang berbunyi:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ اَلدُّنْيَا، نَفَّسَ اَللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ اَلْقِيَامَةِ ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اَللَّهُ عَلَيْهِ فِي اَلدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اَللَّهُ فِي اَلدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاَللَّهُ فِي عَوْنِ اَلْعَبْدِ مَا كَانَ اَلْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Artinya: “Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan Akhirat; dan Allah selalu akan menolong hambanya selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim).

Sejatinya manusia tidak luput dari kesalahan dan keburukan. Hanya saja Allah SWT yang menutupi segala aibnya hingga tidak tampak di hadapan sesama. Oleh karena itu, hadits di atas menurut Syaikh ‘Abdullah bin Shalih al-Fauzan dalam kitab Minhah al-‘Allam fi Syarh Bulugh al-Maram berisi tentang perintah untuk menutupi aib seorang muslim, karena seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Sebab jika kita menjaga aib diri sendiri maupun orang lain, sama halnya seperti menjaga aib diri kita sendiri.

Mari Merefleksikan Diri!

Dalam kehidupan bermuamalah di masyarakat pada masa ini, banyak sekali kontribusi sosial yang dihadirkan melalui sosial media namun menimbulkan salah persepsi serta munculnya permasalahan baru. Kemunculan sosial media memberikan banyak warna dalam kehidupan manusia, tetapi banyak hal yang salah namun dianggap tak masalah karena sudah menjadi kebiasaan umum yang kerap disaksikan dalam keseharian. Masih banyak yang bertanya-tanya mengenai seberapa pentingnya kesadaran privasi dalam bersosial media. Kehadiran dalil al-qur’an maupun hadits di tengah-tengah kehidupan sosial tidak semata-mata hanya perintah Allah dan Rasul-Nya untuk dikerjakan, melainkan juga menjadi sumber acuan yang dapat menjawab problematika masyarakat. Sehingga dari pemaparan beberapa dalil di atas, dapat kita ambil kesimpulan untuk menjawab pertanyaan sebelumnya bahwa kesadaran dalam menjaga sebuah privasi itu penting. Kita harus menyadari bahwa privasi merupakan sesuatu yang dihormati dan dijaga keberadaannya. Dalam islam sendiri, menjaga privasi sama halnya seperti menjaga amanah. Amanah merupakan kriteria utama yang harus dimiliki seorang muslim. Dengan adanya kriteria tersebut yang tertanam dalam diri, maka diri kita akan terhindar dari segala hal yang dapat mengusik kebaikan.

Islam juga telah mengatur sedemikian rupa tentang etika-etika dalam bersosialisasi antar sesama yang dapat kita terapkan dalam bersosial media, yaitu dengan menjaga kedamaian seperti menegakkan perintah Allah seutuhnya. Salah satu upaya dalam menjaga kedamaian tersebut adalah dengan tidak mengumbar aib diri sendiri serta aib orang lain. Karena seorang muslim yang satu dengan muslim lainnya ibarat satu badan. Jika ada satu bagian yang sakit maka semuanya akan merasa sakit. Sehingga semaksimal mungkin kita saling menjaga satu sama lain, saling mengingatkan jika ada salah, dan saling menguatkan jika ada yang lemah agar tetap berada pada koridor-Nya.

Kiranya semua diantara kita memiliki kesadaran akan hal tersebut, namun secara realita masih banyak sekali dijumpai lemahnya praktik akan kesadaran menjaga privasi di sosial media. Karena manusia memanglah tempatnya salah dan lupa. Batasan dalam bersosialisasi harus terus dipublikasi mengingat makin banyaknya pengguna yang merasa memiliki kebebasan dalam berekspresi terkait hal-hal yang bersifat privasi. Jika dibiarkan, hal ini akan terus menjadi permasalahan umum seolah-olah para pengguna telah kehilangan sensitivitas antar sesama.

Hemat penulis, sebagai pegiat sosial media kita diharapkan mampu lebih bijak dalam mengunggah sesuatu yang bersifat privasi. Terkadang banyak hal yang ingin kita bagikan kepada orang lain, namun kita tidak bisa menjamin apakah orang lain mampu menerima informasi sesuai dengan apa yang kita inginkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Halim, A., Zulheldi., & Sobhan. (2019). Karakteristik Pemegang Amanah dalam Al-Qur’an. Mashdar: Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadits , 1, 185-197.

Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. (Muhammad bin Ismail, Penerj.) CD ROM Lidwa Pustaka.

Al-Fauzan, S. (1432 H). Minhah al-‘Allam fii Syarh Bulugh al-Maram. Saudi: Dar Ibnu al-Jauzi.

An-Nawawi, I. (2013). Al-Minhaj Syarhu Sohihi Muslim ibn al-Hijaj. Jakarta: Darus Sunnah.

Hanbal, Imam Ahmad. (1995). al-Musnad. Kairo: Dar al-Hadits.

Mohd Azul Mohamad Salleh, M. Y. (2017). Awareness and Knowledge of Safety and Privacy Through Social Media Among Youth. E-Bangi: Journal of Social Sciences and Humanitie , 12, 1-15.

RI, Kementrian Agama. (2010). Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan). Jakarta: Lentera Abadi.

Databoks. Data Pengguna Instagram Indonesia. Diakses pada November 22, 2021, dari https://databoks.katadata.co.id/

 

Oleh: Alya Azzahra Salsabila (Mahasiswi Ilmu Hadis UAD Angkatan 2020)